Oleh Yandi Novia
Sebuah Review Film Trumbo (2015)
Ada film yang cukup menginspirasi saya yaitu, Trumbo (2015). Mengisahkan tentang kegigihan. Kadang, pekerjaan yang dilakukan, tidak tahu ke depan akan menjadi apa. Menjadi apa kita oleh pekerjaan itu, menjadi seperti apa kehidupan kita di kemudian hari, dan jika semua dilakukan dengan baik, gigih, komunikasi yang baik dengan orang lain maka seperti kata pepatah “akan ada pelangi setelah hujan”.
Trumbo misalnya, dia seorang penulis naskah film. Berhasil melalui kehidupannya yang cukup menyedihkan. Masuk dalam daftar hitam Hollywood. Naskah Film yang Trumbo tulis di somasi dan ditolak oleh beberapa kalangan. Bahkan oleh negara. Ia dipenjara selama 1 tahun. Trumbo keluar tahun 1951. Banyak reputasi industri perfilman hancur. Karena, naskah yang jelek. Beberapa sutradara dan pimpinan perusahaan menginginkan jasa Trumbo untuk menulis naskah. Ia terima, namun namanya menjadi anonim dalam karya-karyanya. Imbas dari daftar hitam Hollywood.
Beberapa naskah film yang Trumbo tulis mendapat penghargaan. Namun, bukan namanya. Ia menggunakan nama samaran, bahkan orang lain yang mengambil peran. Rupayanya, masa itu, Trumbo lah yang terbaik dalam menulis naskah film. Beberapa media mencurigai bahwa memang ia di balik semua film yang telah mendapat penghargaan tersebut.
Rumor keterlibatan Trumbo dalam beberapa film tersebut rupayanya membuat media dan orang-orang penasaran. Puncak dari keberhasilan Trumbo adalah menulis naskah film Spartacus yang diadaptasi dari Novel Exodus. Tahun 1958, Trumbo mengakui bahwa ia di balik semua film hebat yang mendapat penghargaan tadi. Kemudian besoknya harinya, di halaman depan majalah New York Times sutradara Film Spartacus memberikan jawaban siapa penulis film hebat tersebut. “Otto Preminger Announces “Exodus” Written by Dalton Trumbo”, begitu judul yang diberitakan oleh majalah New York Times.
Film Trumbo jika dikaitkan dengan estetika film, tidak hanya sebagai alat informasi tapi juga sebagai alat propaganda dan alat politik. Estetika sebagai pijakan pisau analisis sebuah karya seni (film), erat kaitannya dengan unsur-unsur yang melekat pada karya tersebut untuk menangkap maksud dan tujuan (nilai-nilai) yang terkandung di dalamnya.
Film jika dilihat dari estetikanya selalu memberikan kesan tersendiri. Alur yang dimainkan dalam film membawa wacana dan misi tersendiri, jika itu dikaitkan dalam perspektif film sebagai praktik sosial. Namun, sebagai orang dalam melihat estetika film seakan-akan peran aktor seperti “aku” dalam sebuah film. Hal ini disebut sebagai fenomena Narrative transportation, yaitu suatu keadaan di mana penonton merasa sangat terlibat dalam alur sebuah cerita. Dalam beberapa kondisi, fenomena ini bisa memengaruhi sikap dan perilaku seseorang di dunia nyata setelah selesai membaca atau menonton sebuah film.
Narrative transportation atau transportasi narasi terjadi ketika penonton membayangkan plot cerita terjadi dalam kehidupan. Saat penonton menonton sebuah film, kadang ia membayangkan karakter dan perilaku para tokoh adalah diri sendiri. Hal ini membuatnya bisa merasa empati terhadap karakter suatu tokoh.
Nilai narrative transportation yang terjadi saat saya menonton film Trumbo adalah kegigihannya dalam berkarya, walaupun dalam beberapa keadaan ia menjadi anonim dalam karya-karyanya. Selain itu, Trumbo juga memberikan penyadaran bahwa keluarga adalah rekan kerja yang baik jika di manajemen dengan baik.
Tinggalkan komentar: