Kota Palangka Raya, Minggu pagi, 2 Februari 2025. Saya bersama istri, Ghaaziy (si abang TK Sahabat Alam), dan Ghaaniy (si adik bayi) ikut hadir di acara Sekolah Kepompong. Sekadar info, Sekolah Kepompong ini semacam “sekolahnya para orang tua” dari Sekolah Sahabat Alam Palangka Raya. Jadi, bukan cuma anaknya yang belajar, tapi orang tuanya juga dikasih ruang buat upgrade ilmu parenting.

Tema kali ini cukup ngegas: “Gadget: Sahabat atau Tantangan? Tips Parenting Era Modern”. Pematerinya juga bukan kaleng-kaleng, ada Rizqi Tajuddin (founder Sekolah Sahabat Alam sendiri) dan dr. Frida Ayu Nurhayati, Sp.Kj seorang psikiater yang punya spesialisasi di bidang anak dan remaja.
Baca juga : Maaf nak yaa, terima kasih yaa
Sejak awal flyer acara ini dibagikan di group WhatsApp orang tua, saya udah bisa nebak ini bukan sekadar obrolan teori. Karena buat saya dan istri, soal gadget ini udah jadi bagian dari hidup sehari-hari. Bukan buat kami, tapi untuk tidak memberikannya ke anak.
Yup, sampai sekarang, Ghaaziy belum kami kasih gadget sama sekali. Sebisa mungkin, kami menjauhkan dia dari layar. Akibatnya? Ya tentu dia jadi super aktif, dari jungkir-jungkir di lantai sampe ngoprek peralatan rumah tangga yang bisa dijadikan mainan. Dan kami? Harus siap jadi entertainment center 24/7.

Untuk menonton televisi saja masih dibatasi. Yakni, dalam seminggu hanya 2 kali.
“Hari ini hari minggu kan?”, tanya Ghaaziy, biasanya. “Iya, hari minggu, kenapa?”, jawab saya biasanya. “Ye…berarti Ghaaziy nonton”, jawabnya penuh riang.
Benar. Jadi jadwalnya nonton mengikuti jadwal saya olahraga bulu tangkis. Hari Minggu dan Hari Rabu (dulu Kamis). Jatahnya menonton hanya maksimal 1,5jam. Pilihan tontonannya juga hanya ada 2, menonton Upin Ipin di siaran TV atau menonton beberapa pilihan film (upin ipin / nussa dan rara) dan video mobil tayo atau mobil offroad di flashdisk. Aktivitas menonton, biasanya dimulai bada shalat isya (setelah belajar iqra dan makan malam).
Baca juga : Sekolah Kepompong 2, Merasa Tertampar

Kadang ada rasa iri juga sih. Lihat orang tua lain bisa duduk ngopi santai, anaknya anteng nonton YouTube Kids. Sementara kami harus ngejar Ghaaziy yang lari-lari sambil bawa cobek. Tapi tiap kali pikiran itu muncul, kami ingat lagi: ini pilihan kami, dan tentu ada alasannya.
Nah, acara ini jadi makin membuka mata.
dr. Frida menjelaskan bahwa penggunaan gadget punya dua sisi: ada yang positif, ada yang bikin pusing kepala. Dari sisi positif, gadget bisa bantu anak mengembangkan memori, keterampilan sosial, bahkan empati! Hah, serius? Iya, serius! Ada penelitiannya loh: Schmid & Zepp, 2023 (seperti tertulis pada slide power point yang disampaikan).
Tapi… sisi gelapnya juga nyata. Penggunaan gadget berlebihan bisa bikin anak kecanduan, susah tidur, gampang cemas, bahkan bisa memicu depresi karena cyberbullying atau konten negatif yang nggak sengaja mereka temui (Perry & Goetz, 2023). Belum lagi risiko menurunnya prestasi akademik karena otak kebanyakan “ngudek TikTok” daripada berpikir kritis (Zhang & Wang, 2022).

Untungnya, bukan cuma “menakut-nakuti”, para narasumber juga kasih solusi. Salah satunya: atur waktu dan jenis konten, ajak komunikasi terbuka, dan dorong kegiatan offline seperti main tanah, baca buku, atau ngobrol beneran. Intinya, gadget bukan musuh, tapi perlu diawasi, diatur, dan dikasih batasan.
Bagi saya dan istri, acara ini semacam penguat hati. Bahwa pilihan kami menjauhkan gadget bukan tindakan aneh. Memang butuh tenaga lebih, tapi juga ada rasa lega: anak masih alami, bebas mengeksplorasi dunia nyata, dan yang paling penting kami punya lebih banyak momen bareng mereka, tanpa layar yang mengganggu.
Akhir kata, setiap orang tua punya jalannya sendiri dalam menghadapi tantangan era digital. Kita nggak perlu saling menghakimi. Tapi, yuk saling berbagi dan belajar, supaya bisa jadi sahabat terbaik buat anak-anak kita, bahkan di tengah hutan digital yang rimbun ini.
Materi dari Pak Rizqi Tajuddin, akan saya ulas di tulisan berikutnya yaa.
[…] Baca juga : Sekolah Kepompong 3, Saya dan Istri belum kenalkan gadget kepada anak […]