Masih di acara Sekolah Kepompong, setelah sesi pertama bersama dr. Frida Ayu Nurhayati yang banyak membahas dampak penggunaan gadget bagi anak dari sisi psikiatri, sesi berikutnya diisi oleh Pak Rizqi Tajuddin. Beliau ini bukan cuma pendiri Sekolah Sahabat Alam, tapi juga salah satu sosok yang sering memantik refleksi lewat sudut pandang yang kadang nggak kita sadari sebelumnya.
Baca juga : Sekolah Kepompong 3, Saya dan Istri belum kenalkan gadget kepada anak
Dan seperti yang sudah saya duga sejak awal, sesi ini bukan sesi yang “menakut-nakuti” orang tua soal bahaya gadget. Justru sebaliknya, ini tentang bagaimana orang tua bisa jadi teman yang cerdas dan bijak di tengah derasnya dunia digital yang mulai merangkul anak-anak kita sejak dini.
Jujur aja, dalam banyak situasi, kita sebagai orang tua kadang terlalu cepat bilang “jangan”, tanpa memberikan alternatif atau makna dari larangan itu sendiri.
Beliau membahas soal pentingnya parental control, bukan sekadar untuk membatasi waktu layar, tapi lebih dari itu, mengamankan akses anak terhadap konten digital. Misalnya, hal sesederhana kayak buat akun email anak yang benar-benar pakai tanggal lahir mereka sendiri. Tujuannya bukan biar kelihatan lucu karena email anak kecil, tapi supaya sistem di Google atau Apple bisa otomatis menyaring konten sesuai umur.
Ini penting, karena kadang kita, demi cepat dan praktis, malah pakai tanggal lahir orang tua atau langsung login pakai akun kita sendiri. Akibatnya? Anak bisa tanpa sadar mengakses konten yang belum waktunya mereka tahu.
Selain itu, Pak Rizqi juga kasih penekanan soal aplikasi parental control seperti Google Family Link. Ini tools yang sebenarnya bisa jadi tameng kita sebagai orang tua. Tapi bukan cuma dipasang trus ditinggal, tetap harus dibarengi dengan keterlibatan aktif, ngobrol, mendampingi, dan menjelaskan.
Yang bikin saya makin tersentuh, beliau menyampaikan bahwa pendekatan ini nggak bisa disamakan untuk semua anak. Harus disesuaikan dengan gaya pengasuhan masing-masing keluarga. Termasuk seperti yang saya dan istri jalani sekarang: tidak mengenalkan gadget lebih dulu karena kami merasa anak belum memerlukan. Itu juga bagian dari kontrol-kontrol yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kesiapan.
Dan lagi-lagi, acara ini jadi penguat hati. Bahwa peran orang tua di era sekarang nggak bisa lagi pasif. Kita harus melek, harus belajar, harus adaptif. Bukan supaya jadi orang tua sempurna, tapi supaya tetap relevan, tetap hadir, dan tetap bisa jadi tempat paling aman buat anak-anak kita bertumbuh.
Jadi, gadget: sahabat atau tantangan? Bisa dua-duanya. Tergantung siapa yang pegang kendali.