Minggu pagi 20 Oktober 2024 kemaren terasa berbeda dari biasanya. Aula BPMP di Jalan Tjilik Riwut Km 4 penuh dengan para ayah yang hadir membawa semangat dan harapan mengikuti Kegiatan Sekolah Kepompong. Saya duduk barisan kursi nomor dua, mencoba fokus meskipun pikiran sempat melayang dan menebak-menebak, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “Jejak Ayah di Safar”? Topik ini terdengar menarik, tetapi juga membuat saya bertanya-tanya, apa hubungannya safar dengan pendidikan anak? Saat Pak Rizqi Tajuddin, founder Sekolah Sahabat Alam Palangka Raya, mulai berbicara, perlahan semuanya terasa jelas. Penjelasannya begitu detail dan menyentuh. Saya menyimak dengan sungguh-sungguh, sesekali mengangguk paham, kadang-kadang bergumam, “Ohh, jadi begitu.” Beberapa kali mata saya terasa lembap—entah karena tersentuh atau merasa tertampar. Tapi saya tahan. Nangis di tempat ini, kayaknya enggak keren, ya kan? Hahaha.
Baca juga : Ajo Bendri: Kunci jadi ayah atau ibu adalah belajar ilmunya
Pak Rizqi memulai dengan menggambarkan bagaimana seorang ayah memiliki peran besar dalam perjalanan tumbuh kembang anak. Bukan hanya sebagai penyedia materi, tetapi juga sebagai teladan hidup. Dalam safar, atau perjalanan bersama anak, ada momen-momen yang membuka ruang bagi ayah untuk mendidik, menginspirasi, dan menguatkan hubungan. Saya sadar, selama ini saya terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga lupa memberikan waktu yang berkualitas untuk anak. Safar ternyata bukan sekadar bepergian, tetapi tentang membangun kenangan bersama.
Penjelasan Pak Rizqi terasa seperti tamparan lembut. Saya mulai merenung, kapan terakhir kali saya benar-benar meluangkan waktu untuk anak? Bukan waktu yang setengah-setengah sambil mengerjakan pekerjaan lain, tetapi waktu penuh yang benar-benar saya curahkan untuk mereka. Dalam hati, saya berjanji, safar kali ini akan menjadi awal perubahan. Saya ingin anak mengenal saya lebih dekat, dan saya pun ingin lebih memahami dunia mereka. Momen ini bukan hanya tentang mereka belajar dari saya, tetapi juga saya belajar menjadi ayah yang lebih baik.
Pak Rizqi menjelaskan bahwa safar adalah ruang belajar yang alami dan penuh kejutan. Dalam perjalanan, anak tidak hanya melihat dunia dari sudut pandang mereka, tetapi juga dari sudut pandang ayahnya. Misalnya, ketika menghadapi situasi tak terduga—ban bocor di tengah perjalanan, jalan yang terjal, atau bahkan cuaca buruk—ayah dapat menunjukkan sikap tenang, solusi yang kreatif, dan nilai pantang menyerah. Ini adalah pelajaran hidup yang nyata, tidak ada dalam buku teks. Saya membayangkan, betapa banyak hal yang bisa saya ajarkan kepada anak-anak, hanya dengan mengajak mereka berjalan-jalan ke tempat baru, bahkan tanpa harus jauh-jauh.
Di perjalanan, seorang ayah dan anak bisa berbicara dari hati ke hati tanpa gangguan. Saya tersadar, betapa seringnya saya abai mendengarkan cerita anak-anak karena merasa sibuk. Namun dalam safar, semua itu berubah. Tidak ada deadline pekerjaan, tidak ada gangguan dari gadget atau laptop, hanya ada kami, berbicara dan berbagi. Saya jadi yakin, safar ini akan menjadi momen untuk mempererat hubungan kami.
Setelah mendengar penjelasan itu, saya merasa semakin mantap untuk mengikuti kegiatan “Safar Bersama Ayah” pada 3 November 2024 nanti. Bukan sekadar untuk anak, tetapi juga untuk saya, sebagai upaya membangun jejak yang mendidik, menginspirasi, dan menguatkan dalam perjalanan kami sebagai keluarga.
Tinggalkan komentar: