Diam di Belantara
Aku diam. Sebagaimana belantara tak bersuara, di balik rimbun yang mengurung, aku hilang dalam gema.
Aku diam. Sebagaimana belantara tak bersuara, di balik rimbun yang mengurung, aku hilang dalam gema.
“laa yukallifullah hunafsan illa wus ‘aha”. Terus ku baca dalam keheningan. Aku yang merasa dekat dari ketidakberdayaan. Menjadi semakin kuat. Karena firman-Nya, nyata dan memeluk dalam rasa.
di sini : sebuah firdaus kecil, petualang kecil, keliaran kecil, luput dari pupil yang tak meruncing.
atau mewahnya, impian tentang bebas, dan warna-warna, tak lagi tipuan, yang mengekang, sebuah pilihan
di sini, dalam sepi itu, apa yang tak kuurai, kecuali air mata yang berasal dari Cinta dan debu. Lihat aku! Berjuta noda.
Angkuh tidak akan menjadikan kita lebih baik. Belajarlah dari keangkuhan yang telah runtuh.
(Ketika sehelai demi sehelai rontok, bagi dedaunan waktu adalah penguasa atas segala yang tumbuh). Aku menatapmu merekah. Karena kutahu kau adalah harapan.
Ini bukan negeri, Tempat lahir Neruda, Lelaki yang menyanyikan palma, ikan, roti dan rakyat.
Aku sadar, bahwa ini hanya awal. Sangat dini untuk mengatakan semuanya pahit, akan banyak lagi proses selanjutnya yang penuh dengan perjuangan.